Jumat, 01 Mei 2009

tafsir tentang perilaku terpuji dan korelasinya dengan konsep pendidikan


Ayat-ayat tentang Perilaku terpuji dan korelasinya dengan konsep pendidikan

Pembahasan

I. Tafsir ayat tentang perilaku terpuji

Tafsir Surat al-Baqoroh ayat 153

  1. Ayat dan Terjemahnya

$ygƒr'¯»tƒ z`ƒÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qãYÏètGó$# ÎŽö9¢Á9$$Î/ Ío4qn=¢Á9$#ur 4 ¨bÎ) ©!$# yìtB tûïÎŽÉ9»¢Á9$# ÇÊÎÌÈ

Artinya: Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.

ada pula yang mengartikan: Mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat.(Q.S.Al-Baqoroh: 153 )

  1. Arti Kata

#qãYÏètGó$# : Meminta Pertolongan

ÎŽÉ9»¢Á9$# : Menekan diri dalam hal tidak disukai

  1. Kandungan Ayat

Ayat ini mengajak orang-orang yang beriman untuk menjadikan shalat dan kesabaran sebagai penolong untuk menghadapi cobaan hidup. Kata (الصبر) ash-shabr/sabar yang dimaksud mencakup banyak hal: sabar menghadapi ejekan dan rayuan, sabar melaksanakan perintah dan menjauhi larangan, sabar dalam petaka dan kesulitan, serta sabar dalam berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan.

Penutup ayat ini yang menyatakan sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar mengisyaratkan bahwa jika seorang ingin teratasi penyebab kesedihan atau kesulitannya, jika ingin berhasil memperjuangkan kebenaran dan keadilan, maka ia harus manyertakan Allah dalam setiap langkahnya. Ia harus bersama Allah dalam kesulitannya, dan dalam perjuangannya. Ketika itu Allah Yang Maha Mengetahui, Maha Perkasa, lagi Maha Kuasa pasti membantunya, karena Dia pun teah bersama hamba-NYA. Tanpa kebersamaan itu, kesulitan tidak akan tertanggulangi bahkan mustahil kesulitan diperbesar oleh setan dan manusia itu sendiri.

Karena kesabaran membawa kepada kebaikan dan kebahagiaan, maka manusia tidak boleh berpangku tangan, atau terbawa kesedihan oleh petaka yang dialaminya, ia harus berjuang dan berjuang. Memperjuangkan kebenaran, dan menegakkan keadilan.[1]

Dengan sikap seperti itu diharapkan Ummat islam memiliki mental yang kuat dan tidak cengeng dalam menghadapi lika-liku dan kerasnya kehidupan di dunia.

Sabar ini disebutkan didalam Al-Qur’an secara berulang-ulang. Hal ini karena Allah mengetahui bahwa dalam melakukan aktivitas secara istiqomah menuntut usaha yang besar. Dari sini tampak jelaslah nilai shalat, yang berarti pula hubungan langsung antara sesuatu yang lemah dan sesuatu yang maha besar dan abadi. Sungguh shalat merupakan waktu pilihan saat pelimpahan karunia dan kecintaan yang menetes dari sumber yang tak kunjung kering. Ia merupakan kunci pembendaharaan yang kaya raya dan amat banyak dan melimpah.

Shalat adalah titik tolak dari dunia yang kecil dan terbatas ke dunia yang besar. Ia adalah ruh, salju, dan naungan jiwa dikala diterpa kepanasan. Ia adalah sentuhan kasih sayang terhadap hati yang lelah dan letih.

Sesungguhnya manhaj islami adalah manhaj ibadah, karena itu, Allah menyuruh orang-orang mukmin ketika mereka dalam kondisi kesulitan yang besar agar bersabar dan menunaikan shalat. Karena ketika usaha atau keadaan sedemikan sulit maka kadang-kadang kesabaran menjadi lemah. Karena itulah diiringkan sholat dalam kondisi dan keadaan seperti ini.[2]

Hal ini membuktikan bahwasannya Sholat bukan hanya sebagai rutinitas ibadah lahir belaka, tetapai juga mencakup sisi-sisi spiritual dalam diri manusia.

Al-Qur’an banyak memberikan contoh lewat kisah-kisah tentang kesabaran dan ketawakkalan para Nabi-nabi Allah terdahulu dalam menghadapi ujian yang di berikannya.

Lebih dari 25 tahun Ya’kub sabar menunggu pulang anaknya yang hilang, sampai berputih mata; akhirnya anaknya Yusuf kembali juga. Tujuh tahun Yusuf menderita penjara karena fitnah; dengan sabarnya dai jalani nasibnya; akhirnya dia dipanggil buat menjadi Menteri Besar. Bertahun-tahun pula Ayyub menderita penyakit, sehingga tersisih dari anak istri, akhirnya penyakitnya disembuhkan Tuhan dan setelah pulang ke rumah didapatinya anak yang semula 10 telah menjadi 20 karena semuanya sudah menikah dan beranak pula. Dan begitu juga dengan Ibrahim yang dapat menyempurnakan tugasnya bersama sang putra Ismail dengan kesabaran, dan masih banyak lagi suri tauladan yang dapat kita pelajari dan kita contoh terutama dari Rasulullah SAW, mengenai kesabaran. Sebab sabar itu merupakan perbentengan diri yang amat teguh.

Disinilah terasa ujung ayat: “ Sesungguhnya Allah adalah beserta orang-orang yang sabar” (ujung ayat 153). Apalah yang perlu ditakutkan lagi dalam hidup ini, jika Allah telah menjamin akan kebersamaan-NYA. [3]

Tafsir Surat Ali imran ayat 133-134

  1. Ayat dan Terjemahannya

(#þqããÍ$yur 4n<Î) ;otÏÿøótB `ÏiB öNà6În/§ >p¨Yy_ur $ygàÊótã ßNºuq»yJ¡¡9$# ÞÚöF{$#ur ôN£Ïãé& tûüÉ)­GßJù=Ï9 ÇÊÌÌÈ tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムÎû Ïä!#§Žœ£9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáøtóø9$# tûüÏù$yèø9$#ur Ç`tã Ĩ$¨Y9$# 3 ª!$#ur =Ïtä šúüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÌÍÈ

Artinya: Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,

. (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

  1. Arti Kata:

#þqããÍ$yur : Dan berlomba-lombalah kamu

N£Ïãé& : Yang deperuntukkan/disediakan

ä!#§Žœ£9$# : Waktu lapang/kondisi yang menyenangkan

ä!#§ŽœØ9$ : kondisi yang menyengsarakan. Ibnu Abbas menafsirkan kata sara’ dan dharo’ dengan kondisi yang lapang dan sempit.[4]

ûüÏJÏà»x6ø9$#u : Menahan/penuh dan menutupnya dengan rapat

áøtóø9$ا : Amarah/emosi

  1. Kandungan Ayat

Ayat ini, menganjurkan peningkatan upaya, melukiskan upaya itu bagaikan satu perlombaan, dan kompetisi yang memang merupakan salah satu cara peningkatan kualitas. Karena itu bersegeralah kamu bagaikan ketergesaan seorang yang ingin mendahului yang lain menuju ampunan dari Tuhanmu dengan menyadari kesalahan dan berlombalah mencapai, yaitu surga yang sangat agung yang lebarnya, yakni luasnya selebar seluas langit dan bumi yang disediakan untuk al-muttaqin, yakni orang-orang yang telah mantap ketakwaannya, yang taat melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.

Yang dimaksud lebar surga disini adalah luasnya, dan luas yang dimaksud adalah perumpamaan. Ia tidak harus dipahami dalam arti harfiahnya. Dalam benak kita – manusia – tidak ada sesuatu yang dapat menggambarkan keluasan, melebihi luasnya langit dan bumi, maka untuk menggambarkan betapa luasnya surge, Allah memilih kata-kata “ selebar langit dan bumi.

Perumpamaan yang diberikan al-Qur’an ini, mengundang kaum muslimin agar tidak mempersempit surga dan merasa atau menyarankan hanya diri atau kelompoknya saja yang akan memasuki surga sedemikian luas, sehingga siapapun yang berserah diri pada-Nya, insyaallah akan mendapat tempat yang luas disana.

Setelah itu, ayat berikutnya menggambarkan sekelumit tentang sifat-sifat mereka yang wajar menghuninya (surga). Sifat atau cirri-ciri yang disebutkan disini berkaiatan erat dengan peristiwa perang Uhud, dan karena malapetaka yang terjadi adalah akibat keinginan memperoleh harta rampasan perang yang belum pada waktunya diambil, maka nasihat pertama adalah dengan berinfak dengan menyatakan bahwa cirri-ciri orang yang bertakwa adalah mereka yang kebiasaanya atau secara terus menerus menafkahkan hartanya, di jalan Allah baik di waktu ia lapang, yakni memiliki kelebihan atau kebutuhan maupun diwaktu ia sempit, tidak memiliki kelebihan. Selanjutnya, karena kesudahan itu peperangan itu adalah gugurnya sekian banyak kaum muslmin yang tentu saja mengundang penyesalan, bahkan kemarahan terhadap penyebab-penyebabnya maka sifat kedua yang ditonjolkan adalah yang mampu menahan amarah, bahkan yang memafkan kesalahan orang lain. Berikutnya dijelaskan bahwa akan sangat terpuji lagi mereka yang berbuat kebajikan terhadap mereka yang berbuat kesalahan karena Allah menyukai yakni, melimpahkan rahmat dan anugerah-Nya tanpa henti untuk orang-orang yang berbuat kebajikan.

Dalam konteks menghadapi kesalahan orang lain, ayat ini juga menunjukkan tiga kelas manusia atau jenjang sikapnya. Pertama, yang mampu menahan amarah. Kata (الكاظمين) mengandung makna penuh dan menutupnya dengan rapat. Diatas tingkat ini, adalah yang memaafkan. Kata (العافين) terambil dari kata (العفن) al-‘afn yang bararti maaf atau juga bisa diartikan menghapus. Seseorang yang memafkan orang lain, adalah menghapus bekas luka hatinya akibat kesalahan yang dilakukan orang lain terhadapnya. Selanjutnya, untuk mencapai tingkat ketiga Allah mengingatkan bahwa yang disukainya adalah orang-orang yang berbuat kebajikan, yakni bukan orang yang sekedar menahan amarah, atau memaafkan tetapi justru yang berbuat baik kepada yang pernah melakukan kesalahan.[5]

Untuk itu, disini kita bisa melihat tingkat-tingkat kenaikan takwa seorang mu’min. Pertama, mereka pemurah, baik dalam waktu senang atau dalam waktu susah. Artinya kaya atau miskin berjiwa dermawan. Naik setingkat lagi, yaitu pandai menahan amarah. Tetapi bukan tidak ada marah, karena orang yang tidak ada rasa marahnya sama sekali ketika melihat yang salah adalah orang yang tidak berperasaan. Yang dikehendaki disini, ialah kesanggupan mengendalikan diri ketika marah. Ini adalah tingkat dasar. Kemudian naik setingkat lagi, yaitu memberi maaf. Kemudian naik ketingkat yang diatas sekali, menahan amarah, member maaf, diiringi dengan berbuat baik, khususnya kepada orang yang nyaris dimarahi dan dimaafkan itu.[6]

Demikianlah takwa bekerja dibidang ini, dengan dorongan-dorongan dan motivasi-motivasinya. Marah adalah perasaan manusiawi yang diiringa dengan naiknya tekanan darah. Marah adalah salah satu dorongan yang menjadi kelengkapan penciptaan manusia dan salah satu kebutuhannya. Manusia tidak dapat menundukkan kemarahan ini kecuali dengan perasaan yang halus dan lembut yang bersumber dari pancaran takwa, dan dengan kekuatan ruhiah yang bersumber dari pandangannya kepada ufuk yang lebih luas daripada ufuk dirinya dan cakrawala kebutuhannya.[7]

Tafsir Surat an-Nisa’ ayat 114

  1. Ayat dan Terjemahannya

* žw uŽöyz Îû 9ŽÏVŸ2 `ÏiB öNßg1uqôf¯R žwÎ) ô`tB ttBr& >ps%y|ÁÎ/ ÷rr& >$rã÷ètB ÷rr& £x»n=ô¹Î) šú÷üt/ Ĩ$¨Y9$# 4 `tBur ö@yèøÿtƒ šÏ9ºsŒ uä!$tóÏFö/$# ÏN$|ÊósD «!$# t$öq|¡sù ÏmŠÏ?÷sçR #·ô_r& $\KÏàtã ÇÊÊÍÈ

Artinya: Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. dan barangsiapa yang berbuat demikian Karena mencari keredhaan Allah, Maka kelak kami memberi kepadanya pahala yang besar.

  1. Arti Kata:

Nßg1uqôf¯R : Pembicaraan rahasia mereka

uä!$tóÏFö/$# : Manggapai/mencari

#·ô_r& : Pahala/ganjaran/balasan

  1. Kandungan Ayat

Ayat ini merupakan pendidikan yang sangat berharga bagi masyarakat, yakni untuk saling terbuka, sedapat mungkin untuk tidak saling merahasiakan sesuatu. Kerahasiaan mengandung makna ketidakpercayaan sedangkan keterbukaan dan terus terang menunjukkan keberanian pembicara.

“tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka manusia”dari sini dapat dipahami larangan nabi Saw melakukan pembicaraan rahasia dihadapan orang lain, yang nantinya dapat mewnimbulkan fitnah, sehingga memunculkan rasa dengki hati dan suudzan yang dapat memecah belah umat. Maka dari itu jelahslah bahwa bisik-bisik tidak ada kebaikan atau manfaat yang bisa diambil. Mana yang tidak setuju hendaknya dukatakan terus terang.

“kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma'ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia” dari tiga hal diatas tidak mengandung madzarat kalo diperbisikkam. , bahkan memang patut ghal-hal tersebut diperbisikkan terlebih dahulu.

Menyuruh atau menganjurkan orang mengeluarkan sedekah memang kadang-kang perlu dirahasiakan terlebih dahulu, supaya dapat diteliti siapa yang patut menerimanya. Sebab ada orang yang berhak menerima sedekah atau zakat tetapi dia malu memintanya atau malu ketahuan. Banyal orangyang mempunyai budi yang dinamai iffah, yaitu pandai menahan diri, sehingga banyak orang yang menyangka dia kaya, padahal dia berhak menerima sedekah ataupun zakat. Dan lebih baik lagi kalo diberikan secara rahasia, sehingga yang diberi tidak merasa malu. Demikian pula, ada orang yang mampu mengeluarkan zakat, tetapi dia enggan memperlihatkannya karena takut riya’, maka dia memberikan zakat tersebut secara rahasia.

Menyuruh perbuatan yang ma’ruf kadang-kadang lebih baik disampaikan secara rahasia. Seperti orang yang melakukan perbuatan jelek ditegur dihadapan banyak orang akan menimbulkan masalah lain, maka sebaiknya dilakukan teguran tersebut secara rahasia. Mendamaikan orang yang sedang berselisih sepatutnya dilakukan secar rahasia. Hal ini untuk menjaga nama baik kedua belah pihak

Menurut ar-razi sesungguhnya amal pada garis besarnya tidak keluar dari memberi manfaat tau menafikkan madzarat,pemberian manfaat dapat bersifat material dan inilah yang diwakili oleh sedekah, sedangkan yang bersifat immateraial ditunjukkan dengan amar ma’ruf. Ma’ruf dapat mencangkup pengembangan potensi kemampuan teoritis melalui pemberian pengetahuan, atau pengembangan potensi melalui keteladanan. [8]

Semua bisik-bisik ditempat sunyi tidak menimbulkan bahaya. Asal ada niat baik rerkandung didalamnya , sebab lanjutan ayat berbunyi dengan tegas” dan barangsiapa yang berbuat demikian”yaitu segala macam bisik yang mengandung maksud baik, yang bukan hendak merugikan orang lain, karena menginginkan keridhaan Allah. Sebab timbul pengaruh iman kepada Tuhan dan kasih sayang sesama manusia. Lantaran bersedekah, menyuruh berbuat baik dan mendamaikan orang yang bertengkar atau berkelahi. Yang nantinya Allah akan memberi pahala yang sangat besar.

Surat al-Fajr ayat 27-28

  1. Ayat dan terjemahannya

$pkçJ­ƒr'¯»tƒ ß§øÿ¨Z9$# èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# ÇËÐÈ ûÓÉëÅ_ö$# 4n<Î) Å7În/u ZpuŠÅÊ#u Zp¨ŠÅÊó£D ÇËÑÈ

Artinya:

Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.

  1. Arti Kata

èp¨ZÍ´yJôÜßJø9$# : asal kata dari al- ithmi’nan yang artinya tetap dan teguh

  1. Kandungan Ayat

Am- nafsu mutmainah adalah jiwa yang telah mencapai tenang dan tentram. Jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman, penderitaan, yang telah melalui jalan yang berliku dan tidak mengeluh ketika mendaki., yakni jiwa yang berucap syukur ketika mendapat kenikmatan dari Allah dan jiwa yang sabar ketika mendapat cobaan Allah

Inililah jiwa yang tenang ketika mendapat kabar gembira atau kabar yang menakutkan

Ibnu Atta’ beroendapat bahwa muthmainah adalah jiwa yang telah mencapai ma’rifah sehingga tak sabar lagi bercerai dari tuhannya walaupiun sekejap mata. Tuhan sebantiasa dalam ingatannya[9]

Sedangkan Hasan al- bisei Berpendapat apabila Allah berkehendak mengambil nyawa hmbaNya yang beriman, tentramlah jiwanya tehadap Allah. Dan tentram pula Allah terhadapnya. [10]

Sementara ulama’ menahami dengan Wujud Allah atau janjiNya disertai dengan keikhlasan beramal.[11]

“Hai jiwa yang tenang” yakni jiwa yang telah yakin kepada perkara hak dan tidak adal lagi perasaan syak(ragu). Yang telah bepegang teguh kepada ketentuan-ketentuan syari’at sehingga tidak mudah diombang ambing oleh nafsu syahwat dan keinginan.

“Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya”. Yaitu kembali ke temnpat yang terhormat disisi Allah. Merewlakam semua alam perbuatanmu ketika hidup di dunia Agars memperoleh keridhaan allah. Sebab kamu tidak berlaku tama’ pada kekayaan dan tidak berkecil hati serta mengeluh tatkala ditimpa kefakiran.

II. Korelasi ayat dengan konsep pendidikan

Seperti yang kita maklumi bersama, bahwa dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peran yang menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakat, karena pendidikan merupakan usaha untuk mentransfer dan mentransformasikan pengetahuan serta menginternalisasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus. Demikian pula peran pendidikan Islam di kalangan umat islam merupakan salah satu bentuk manifestasi dari cita-cita hidup Islam untuk melestarikan, mentransformasikan, dan menginternalisasikan nilai-nilai islam tersebut kepada generasi penerusnya, sehingga nilai-nilai cultural-relegius yang dicita-citakan dapat tetap berfungsi dan berkembang dalam masyarakat dari waktu ke waktu.

Pendidikan Islam, seperti pendidikan pada umumnya berusaha membentuk pribadi manusia, harus melalui proses yang panjang, dengan hasil yang tidak dapat diketahui dengan segera. Berbeda dengan membentuk benda mati yang dapat dilakukan sesuai dengan keinginan pembentuknya. Oleh karena itu dalam pembentukan tersebut diperlukan suatu perhitungan yang matang dan tepat berdasarkan pandangan dan rumusan-rumusan yang baik dan jelas.

jika kita menganalisis lebih dalam ayat-ayat diatas tadi, terdapat korelasi yang unik antara ayat satu dengan yang lainnya. Al-Qur’an telah memberikan pelajaran berharga bagi kita tentang bagaimana mencetak manusia yang mampu miliki jiwa sekelas Al-Muthmainnah, sebuah jiwa (sebagaimana yang telah diterangkan diatas) akan ketenangan dan ketentraman. Sebuah jiwa yang telah makan asam-manisnya kehidupan. Sebuah jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan penderitaan. Sebuah jiwa yang akan segera bertaubat ketika ia telah melakukan kesalahan, jiwa yang dengan suka rela menafkahkan hartanya dikala ia senang ataupun sedih, jiwa yang mampu menahan amarahnya dengan memaafkan kesalahan orang yang telah berbuat salah terhadapnya dan juga mampu berbuat kebaikan terhadap orang tersebut, jiwa yang menghindari bergosip ria (karena khawatir akan fitnah) kecuali untuk bershodaqoh, berbuat amar ma’ruf dan mendamaikan orang yang berselisih. Sehingga jiwa tersebut menjadi interpretasi manusia dalam sikap dan perilakunya pada kehidupan sehari-hari. Maha benar Allah swt melalui kalamnya.

Dengan demikian, usaha Al-Qur’an dalam mencetak manusia berjiwa Al-Muthmainnah selaras dengan tujuan pendidikan yang tertinggi/terakhir, yang mana menurut Abu Ahmadi[12] mengatakan bahwa Tujuan ini bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan dan berlaku umum, karena sesuai dengan konsep ketuhanan yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi tersebut dirumuskan dalam satu istilah yang disebut “ insan kamil “ (manusia paripurna).

Sementara itu, aspek tujuan pendidikan Islam itu meliputi empat hal, yaitu: (1) tujuan jasmaniah, (2) tujuan rohaniah, (3) tujuan akal, dan (4) tujuan social. Masing-masing aspek tersebut akan diuraikan dibawah ini dengan mengkorelasikannya dengan ayat-ayat Al-Qur’an tentang perilaku terpuji (seperti yang telah disebutkan diatas):

1. Tujuan Jasmaniah

Tujuan pendidikan perlu dikaitkan dengan tugas manusia selaku kholifah di muka bumi yang harus memiliki kemampuan jasmani yang bagus disamping rohani yang teguh. Dalam hadist Rasulullah SAW bersabda:

“ orang-orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih disayangi oleh Allah dari pada orang mukmin yang lemah “.

Kata “kuat” dalam hadist ini dapat diartikan dengan kuat secara jasmani, salah satu perilaku terpuji yang termasuk didalamnya adalah “mendamaikan pertikaian”. Karena mendamaikan pertikaian/perselisihan dibutuhkan bukan hanya keberanian fisik tapi juga kearifan hati dalam menengahi masalah yang dihadapi.

2. Tujuan Rohaniah

Tujuan pendidikan rohaniah diarahkan pada pembentukan akhlaq mulia, ini juga sesuai dengan konsep Al-Qur’an dalam mencetak Jiwa Al-Muthmainnah, yang mana pembentukan jiwa tersebut harus didasari pada sikap dan perilakunya yang terpuji.

3. Tujuan Akal

Selain tujuan jasmaniah dan tujuan rohaniah, pendidikan islam juga memperhatikan tujuan akal. Aspek tujuan ini bertumpu pada pengembangan intelegensia (kecerdasan) yang barada dalam otak. Sehingga Mampu memahami dan dan menganalisis fenomena-fenomena ciptaan Allah di jagad raya ini. Proses intelektualisasi pendidikan islam terhadap sasaran pendidikannya adalah dengan tetap menginternalisasikan dan mentransformasiakan nilai-nilai islam seperti ke imanan, akhlak dan ubudiyah serta muamalah kedalam pribadi manusia didik, sama seperti halnya dengan Al-Qur’an yang mengajarkan manusia untuk menyerukan yang ma’ruf sesuai dengan latar belakang dan kondisi obyek sasarannya, agar hal tersebut tidak menjadi boomerang baginya, dengan begitu disinilah letak potensi akal berfungsi sebagai pengemas yang semenarik mungkin.

4. Tujuan social

Tujan social ini merupakan pembentukan kepribadian yang utuh dari rob, tubuh, dan akal. Di mana identitas individu di sini tercermin sebagai manusia yang hidup pada masyarakat yang plural (majemuk). Tujuan pendidikan social ini penting artinya. Karena manusia sebagai kholifah di bumi seyogyanya mempunyai kepribadian yang utama dan seimbang. Yang karenanya tidak mungkin manusia menjauhkan diri dari kehidupan bermasyarakat[13]. Al-Qur’an banyak memberikan pelajaran mengenai keserasian social ini, contohnya mengenai shodaqoh, berapa banyak ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang ini, terlebih lagi mengenai sikap dan perilaku terpuji sesama manusia (hablumminannash) yang sudah barang tentu menjadi kewajiban antara sesama manusia, keharmonisan seperti inilah yang merupaka karasteriktik pertama yang dicari dalam tujuan pendidikan islam.


[1] M. Quraisy Shihab. Tafsir Al-Misbah.(Jakarta. Lentera Hati. 2002). Juz 1. Hal. 363

[2] Sayyid Quthub. Terjemah Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an. (). Juz II Hal. 170

[3] Prof.Dr.Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Citra Serumpun Padi 2003), Juz 2 Hal. 28

[4] Ahmad Musthofa Al- maroghi, Tafsir Al- Maroghi, (Semarang: Toha Putra,1987), 84

[5] M. Quraisy Shihab. Tafsir Al-Misbah, (Jakarta:Lentera Hati. 2002). Juz 3 Hal. 220

[6] Prof.Dr.Hamka. Tafsir Al-Azhar. (Jakarta: CintaSerumpun Padi. 2003). Juz IV Hal.115

[7] Sayyid Quthub. Terjemah Tafsir Fi Zhilalil-Qur’an, (). Juz IV Hal. 162

[8] M. Quraisy Shihab. Tafsir Al-Misbah (Jakarta. Lentera Hati. 2000). Juz 4 Hal 587

[9] Prof.Dr.Hamka.Tafsir Al-Azhar.(Jakarta.Cinta Serumpun Padi.2003). Juz 30 Hal.153

[10] Sayyid Quthub. Terjemah Tafsir Fi-Zhilalil-Qur’an.().Juz Hal 268

[11] M. Quraisy Shihab. Tafsir Al-Misbah. (Jakarta. Lentera Hati.2000). Juz 30 257

[12] Abu Ahmadi, islam sebagai paradigma ilmu pendidikan, (Yogyakarta: Aditya media, 1992), Hal. 65.

[13] Abdurrahman Saleh Abdullah. Op cit. hal 148